Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember)
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, setiap tahunnya diperingati mulai 25 November hingga 10 Desember pada hari Hak Asasi Manusia.
Bertepatan dengan momentum tersebut, Institut Ungu menghadirkan beragam kegiatan yang mengusung isu Hak Asasi Manusia melalui kegiatan seni dan beragam diskusi.
Dari Uruguay, Norwegia ke Indonesia….
Hak Asasi Manusia dan seni, termasuk seni drama dan seni pertunjukan, mempunyai hubungan yang sangat dekat dan saling membutuhkan. Apabila Hak Asasi Manusia dan demokratisasi mempunyai tempat dan penghargaan yang baik, seni akan berkembang dengan kaya dan dinamis. Ini akan juga mendorong terbentuknya sebuah kehidupan kebudayaan yang terbuka dan demokratis. Karya-karya seni juga bisa sesuatu yang menjelaskan, bahkan membela hak asasi.
Salah satu masalah berhubungan dengan kesadaran akan Hak Asasi Manusia yang dialami banyak negeri, dan bukan hanya Indonesia, ialah bagaimana sebuah masyarakat menghadapi masa lalunya yang pernah melahirkan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini Indonesia memiliki kesamaan dengan negeri lain misalnya Uruguay.
Uruguay dan Indonesia mengalamai fenomena yang serupa dalam hal memori tentang Hak Asasi Manusia dan demokratisasi.
Dramawan feminis Norwegia, Lene Therese Teigen, telah menulis naskah drama, berjudul ‘Time Without Books’ yang membongkar dan merenungkan pengalaman Uruguay berdasarkan riset dengan para survivor, termasuk para perempuan eksil Uruguay yang ada di Norwegia. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Faiza Mardzoeki dengan judul ‘WAKTU TANPA BUKU’
Cerita WAKTU TANPA BUKU sangat dekat dengan kita di sini. Di Indonesia. Sebuah cerita tentang korban kediktatoran masa lalu yang masih sangat perlu ditatap dan direnungkan. Karena pengalaman masa lalu selalu melahirkan perjalanan kemanusiaan yang tidak pernah usai untuk menatap masa depannya. Di sana ada korban pada ibu yang ditinggalkan oleh suaminya, anak yang kehilangan ayahnya, generasi muda yang mempertanyakan masa lalu orang tua sekaligus bangsanya. Sebuah pertanyaaan yang tidak akan pernah berakhir….
Drama ini bisa membuka kemungkinan terjadinya dialog tersebut, yaitu sebuah Dialog Seni dan Hak Asasi Manusia dalam perspektif masa lalu masa kini untuk menjemput masa depan lebih adil.
Kami ingin memperkenalkan bahwa proses karya seni drama sebagai mekanisme untuk bicara soal Hak Asasi Manusia lebih luas ke publik Indonesia, khususnya generasi muda.
Dengan menerjemahkann karya drama bangsa lain dan mengenalkannya di sini, di Indonesia, juga menjadi bagian dari proses dialog seni dalam semangat solidaritas internasional. Karena Seni dan Hak Asasi Manusia adalah milik anak semua bangsa.
Bagaimana kita berdialog ?
Institut Ungu ingin memperkenalkan bahwa sebuah sastra drama, karya seni bisa menjadi jembatan untuk bicara soal Hak Asasi Manusia ke publik yang lebih luas, kepada perempuan dan khususnya kepada generasi muda.
Mekanisme dialog yang kami ciptakan adalah sebagai berikut: