Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan  (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia  (10 Desember)

Waktu Tanpa Buku

Kutipan Kata Pengantar
Buat saya, drama Waktu Tanpa Buku ini sangat puitis sekaligus bertenaga dalam membongkar memori personal individu yang berangkat dari pengalaman pusaran besar gejolak politik bangsanya. Karakter-karakter yang diciptakan sangat kuat dan bisa menjadi representasi siapa saja yang mungkin pernah mengalami hal serupa. Drama ini juga mampu bicara kepada mereka yang hanya pernah mendengar secara bisik-bisik tentang apa yang pernah terjadi, maupun untuk pembaca generasi milenial yang sama sekali jauh dari sejarah negerinya di masa lalu.
Saya ingin menceritakan sesuatu yang mungkin dapat mengubah hubungan seseorang dengan kehidupan dan kematian, sesama manusia dan identitasnya sendiri. Ketika banyak orang tiba-tiba pergi menaiki pesawat karena kerusuhan di dunia dan rezim yang tidak memperdulikan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan kesetaraan, kita harus menyadari betapa pentingnya kita menemukan seperti apa gantinya dari pengalaman yang akan kita ciptakan.
Melupakan kenangan yang buruk, mungkin cara yang terbaik. Tapi, selalu tidak melupakan kenangan, bisa membikin kita trauma. Pasti akan sangat melelahkan dan bisa membuat sakit….Lakon ini, sesungguhnya juga lakon tentang kita. Kisah yang sesungguhnya sedang terjadi pada kita, sekarang. Ini adalah lakon Indonesia.
“Time without books” revolves around memories. While based on interviews with Uruguayans who lived under an authoritarian regime, the story is nevertheless universal. It depicts the transition from dictatorship to democracy; how do you tackle past trauma, both on a personal and a collective level? What do you leave behind and what do you pass on to the next generation?

Produksi Institut Ungu 2020