Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember)
Apakah negara sudah menjamin Hak Asasi Manusia tanpa diskriminasi terhadap perempuan ?
Gagasan bahwa “hak perempuan adalah hak asasi manusia” pertama kali diungkapkan oleh para feminis Sarah Moore Grimké dan Angelina Grimké Weld pada akhir 1830-an. Dalam rangkaian suratnya ‘Letters on the Equality of the Sexes’.
Di dalam surat yang ia tulis kepadatemannya, Jane Smith, dia menyampaikan, “apa pun yang secara moral benar bagi seorang pria untuk dilakukan adalah benar secara moral bagi seorang perempuan untuk melakukannya. Saya tidak mengakui hak selain hak asasi manusia.” Kemudian dipopulerkan kembali oleh Hillary Clinton, Ibu Negara Amerika Serikat, pada tanggal 5 September 1995, pada Konferensi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-4 di Beijing.
Dalam pidatonya ini ia berusaha untuk mengaitkan dengan erat pengertian hak-hak perempuan dengan Hak Asasi Manusia denganmenggunakan frase yang lebih panjang, dua arah, “hak asasi manusia adalah hak perempuan dan hak perempuan adalah hak asasi manusia”.
Di Indonesia
Perempuan sering kali termarjinalkan oleh konsepsi sosial budaya di masyarakat yang cenderung patriarkis tanpa melihat hak. Perlakuan diskriminatif kerap kali diterima perempuan Indonesia, baik dalam kehidupan sosial maupun dunia professional/dunia kerja termasuk di dunia kerja kesenian.
Perempuan mempunyai Hak apa saja? Berikut lima di antaranya yang tertera dalam Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB.
1. Hak dalam ketenagakerjaan
Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki.Hak ini meliputi kesempatan yang sama dari proses seleksi, fasilitas kerja, tunjangan, dan hingga hak untuk menerima upah yang setara.Selain itu, perempuan berhak untuk mendapatkan masa cuti yang dibayar, termasuk saat cuti melahirkan. Perempuan tidak bisa diberhentikan oleh pihak pemberi tenaga kerja dengan alasan kehamilan maupun status pernikahan.
2. Hak dalam bidang kesehatan
Perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian pada saat melahirkan, dan hak tersebut harus diupayakan oleh negara.Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.
3. Hak yang sama dalam pendidikan
Seperti salah satu poin perjuangan RA Kartini, setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat dasar hingga universitas. Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk pendidikan, termasuk kesempatan yang sama untuk mendapatkan beasiswa.
4. Hak dalam perkawinan dan keluarga
Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki dalam perkawinan.Perempuan punya hak untuk memilih suaminya secara bebas, dan tidak boleh ada perkawinan paksa. Perkawinan yang dilakukan haruslah berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihakDalam keluarga, perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami-istri.
5. Hak dalam kehidupan publik dan politik
Dalam kehidupan publik dan politik, setiap perempuan berhak untuk memilih dan dipilih.Setelah berhasil terpilih lewat proses yang demokratis, perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah hingga implementasinya
Bagaimana implemantasinya ?
Instrumen lainnya yang menjadi pijakan adalah kita adalah Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disebut sebagai UDHR).
UDHR adalah sebuah instrumen hak asasi manusia yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Perancis. Tanggal ini selanjutnya diakui sebagai Hari Hak Asasi Manusia di seluruh dunia. Instrumen tersebut memuat berbagai prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, hak untuk terbebas dari perbudakan, hak atas kebebasan beragama, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, hingga hak atas kebebasan berpikir dan menyapaikan pendapat dan bereskpresi. Bersifat universal bagi seluruh umat manusia.
Namun demkian, banyak data menunjukan masih banyak terjadinya pelanggaran hak asasi terhadap perempuan. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan di tahun 2020 menyebutkan terdapat 431.471 kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) selama tahun 2019. Dari jumlah yang dicatat tersebut 75% merupakan kasus di ranah domestik dan 24% lainnya adalah kasus yang terjadi di ranah publik dan komunitas. Sementara bila ditelusuri lebih jauh kasus-kasus yang terjadi di ranah publik tersebut sebagian besar – sebanyak 58% – adalah kasus kekerasan seksual.
Terang benderang nya fakta di atas bahkan tidak mampu menggerakkan komitmen Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Padahal jaminan penegakan hukum yang dapat diberikan regulasi ini memberikan secercah harapan bagi perempuan untuk memperoleh hak perlindungan dari praktek kekerasan seksual yang sebagian besar berakar dari konstruksi sosial dan kultural. Spektrum kekerasan berbasis gender yang dihadapi perempuan semakin beragam dalam ruang virtual.
Selain itu berbagai pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap perempuan misalnya pada peristiwa 65 atau konflik Aceh misalanya sampai hari ini tidak pernah diselesaikan secara jelas. Ada indikasi impunitas di sana.
Pertanyaan kunci yang akan menjadi poin-poin diskusi :
Pengisi Acara/ Pembicara/Moderator