Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember)
Pada 1973 terjadi kudeta militer di Uruguay. Kemudian pemerintahan militer berkuasa sampai 1985, selama 12 tahun ( Selama militer berkuasa ini, negara Uruguay dikenal sebagai “ruang penyiksaan di Amerika Latin.” Pada periode ini, diperkirakan bahwa sekitar 20% warganya ditangkap dan disiksa, meskipun kadang-kadang hanya sebentar. Sebagai akibat dari situasi ini terjadi emigrasi besar dari Uruguay. Mereka mengungsi ke negara-negara Amerika Selatan lainnya. Sebagian dari mereka ada yang menemukan jalan ke Eropa. Di antara para pengungsi tersebut ada yang akhirnya bertempat tinggal di Norwegia.
Penggalan kisah eksil Uruguay di Norwegia tersebut bisa diketahui dari seorang dramawan Norwegia, Lene Therese Teigen, yang melakukan riset dan wawancara intesif dengan mereka, kemudian ditulis dalam drama berjudul ‘TIME WITHOUT BOOKS’ (WAKTU TANPA BUKU). Dalam drama ini, Lene, dengan sangat baik membongkar dan merenungkan MEMORI yang menempel pada individu yang mengalaminya, dengan bermacam pergulatan emosi yang timbul.
Relevansinya dengan Indonesia
Indonesia juga mengalami periode pemerintahan otoriter, yang didukung oleh militer. Skalanya jauh lebih besar. Pembunuhan dan penangkapan pada tahun 1965 adalah kasus yang terbesar dalam sejarah modern dengan 500.000 hingga 1.000.000 orang atau lebih terbunuh dan puluhan ribu ditahan dan dianiaya dalam waktu pendek dan lebih dari 15.000 ditahan tanpa pengadilan selama 14 tahun. Selain itu, ada banyak orang Indonesia yang kemudian terpaksa menjadi orang buangan politik di luar negeri.
Kedua negeri, Indonesia dan Uruguay mempunyai pengalaman gelap seperti ini. Namun demikian, ada beberapa perbedaan, terlepas dari skalanya. Orang-orang buangan Uruguay terjadi karena melarikan diri dari “ruang penyiksaan” di negerinya. Di tempat barunya, mereka sering membawa kenangan penyiksaan yang buruk. Di samping itu, masa kegelapan Uruguay lebih pendek – 12 tahun – dibandingkan dengan Indonesia yang mengalaminya selama 33 tahun.
Selama 33 tahun (1965-1998) Indonesia mengalami pemerintahan otoritarianisme, dengan suasana ingatan teror yang diciptakan pada periode penangkapan dan pembunuhan serta pemenjaraan di tahun 1965-1968. Tetapi, meskipun teror itu sendiri berhenti, mereka yang dipenjara terus mengalami teror. Dan kemudian pemerintahan dijalankan dengan sangat otoriter.
Hanya sedikit orang Indonesia yang sempat melarikan diri dari Indonesia setelah militer mengambil alih kekuasaan. Hampir semua orang buangan politik Indonesia tidak pernah mengalami teror langsung seperti yang dialami teman-teman dan rekan-rekan mereka di Indonesia. Mereka sudah keluar negeri sebelum militer mengambil alih kekuasaan, kebanyakan sebagai mahasiswa yang dikirim oleh pemerintahan Soekarno. Setelah militer mengambil alih kekuasaan, di bawah pimpinan Soeharto, mereka tidak dapat pulang karena bisa terancam ditangkap atau dipenjara.
Kediktatoran di Indonesia yang berlangsung cukup lama yaitu 33 tahun memberikan masalah tentang “memori” dua makna. Pertama, kehilangan ingatan nasional, yaitu tidak adanya memori sejarah nasional bangsanya. Masa 33 tahun cukup lama untuk memori sejarah terhapus dari generasi ke generasi. Kedua, seperti juga di Uruguay, ada masalah bagaimana menghadapi memori penderitaan dan penghinaan yang pernah dialami.
Waktu Tanpa Buku, sebuah drama yang berfokus pada ingatan dan jiwa dari mereka, di tingkat individu yang mengalami teror atau kehilangan keluarga secara langsung. Sementara Orang-orang buangan Indonesia mengalami penderitaan pribadi yang berbeda: kesepian karena tidak dapat melihat rumah dan keluarga lagi. Ada tumpang tindih langsung dalam beberapa pengalaman.
Beberapa pengungsi Uruguay bisa pulang ke negerinya sesudah rejim militer berakhir, misalnya dari Norwegia. Di Indonesia, setidaknya 14.000 tahanan juga kembali ke rumah – bukan dari pengasingan di luar negeri tetapi dari pengasingan di penjara dan kamp di Indonesia sendiri.
Para mantan tahanan politik ini berbagi pengalaman yang sama dengan orang Uruguay yang digambarkan di drama Norwegia ini. Mereka menghadapi trauma memori yang mempengaruhi jiwa mereka tepat ketika mereka pulang dan harus menyesuaikan diri dengan masyarakat paska kediktatoran. Cerita di drama ini sangat dekat dengan pengalaman Indonesia.
Ketika Lene Therese Tiegen mengontak saya dan mengirimkan naskah tersebut, mengajak saya untuk membacanya, saya merasa ada ikatan dengan Waktu Tanpa Buku.Tentang pengalaman sebagai anak bangsa yang juga lahir dan tumbuh di era kediktatoran. Saya pribadi lahir ketika kediktatoran telah berjalan selama 8 tahunan, tidak mengalami langsung penyiksaan, tetapi mengalami berbagai aturan otoriter negara, misalnya melalui kurikulum sekolah yang penuh dengan propaganda kebohongan dan tidak pernah menceritakan secara jujur dan terbuka tentang peristiwa pembunuhan dan pemenjaraan ratusan ribu orang. Saya juga mempunyai pengalaman bertemu lagsung dengan para korban yang yang pernah dipenjara dan disiksa, sehingga membuka jendela hati saya untuk mempelajari lebih dari pada sekedar menelan sejarah versi resmi pemerintahan diktator. Dari proses pengalaman ini juga, akhirnya melahirkan drama saya berjudul Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer .
Buat saya, drama Waktu Tanpa Bukuini sangat puitis sekaligus bertenaga dalam membongkar memori personal individu yang berangkat dari pengalaman pusaran besar gejolak politik bangsanya. Karakter-karakter yang diciptakan sangat kuat dan bisa menjadi representasi siapa saja yang mungkin pernah mengalami hal serupa. Drama ini juga mampu bicara kepada mereka yang hanya pernah mendengar secara bisik-bisik tentang apa yang pernah terjadi, maupun untuk pembaca generasi milenial yang sama sekali jauh dari sejarah negerinya di masa lalu.
Dengan struktur drama yang kompleks menjadikan drama ini sebuah tantangan tersediri ketika dibaca dan dihayati dalam pengalaman bermain, seperti rumitnya kita mengalami trauma sejarah yang penuh luka. Namun demikian, selalu ada kemungkinan untuk bisa dilewatinya bahkan mencari jalan keluar menjadi lebih baik dan membebaskan. Drama ini menjadi universal dan relevan dihadirkan ke publik yang luas, termasuk di Indonesia.
Terima kasih saya ucapkan, pertama kepada The Writer’s Guild of Norway and NORLA (Norwegian Literature Abroad) yang telah memberi dukungan dana sehingga kerja terjemahan naskah ini bisa terlaksana.
Terima kasih juga kepada Max Lane, editor saya, yang dengan tekun meneliti hasil terjemahan ini. Juga kepada Institut Ungu, organisasi tempat saya dan teman-teman berkolaborasi dan berkarya untuk isu kesetaraan gender dan hak asasi manusia melalui seni budaya.
Pada saat menyiapkan buku ini terbit, bersama Institut Ungu pula, saya sedang dalam proses produksi ‘5 PLAY READINGS WAKTU TANPA BUKU’, masing-masing disutradarai oleh sutradara perempuan dari Yogyakarta, Makassar, Aceh, Bandung dan Jakarta. 5 Play Readings ini dibuat untuk format daring, dikarenakan pandemi Covid-19 masih menyelimuti Indonesia. Acara publik yang melibatkan banyak orang belum diijinkan oleh pemerintah Indonesia. Terima kasih kepada semua yang terlibat di produksi masa pandemi ini.
Kepada Lene Therese Teigen, terima kasihku tak terhingga, saya diberi kepercayaan menerjemahkan naskah yang luar biasa menantang ini, ke dalam bahasa yang saya cintai, Bahasa Indonesia. Tidak lupa, terima kasih kepada Kedutaan Norwegia di Jakarta yang telah mendukung penerbitan buku drama ini.
Harapan saya, buku drama Waktu Tanpa Bukuini bisa dibaca luas dan dipentaskan di Indonesia.
Yogyakarta, Mei 2020