DIALOG SENI DAN HAM
Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember)
Catatan Produser
Faiza Mardzoeki
Pertunjukan daring teater film ‘WAKTU TANPA BUKU’ (WTB) digarap oleh 5 sutradara perempuan yaitu Ramdiana dari Aceh, Heliana Sinaga dari Bandung, Ruth Marini dari Jakarta, Shinta Febriany dari Makassar dan Agnes Christina dari Yogyakarta. Selain itu melibatkanseniman teater Wawan Sofwan untuk menjadikonsultan pertunjukan.
Pada awalnya WTB akan digarap sebagai pertunjukan dengan pendekatan ‘Play Reading’. Gagasan ini muncul sebelum pandemi covid-19 menghantam kita. Dalam suasana pandemi, produksi terus berjalan dan seluruh tim kreatif harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, harus mencari-cari dan memikirkan pendekatan yang paling mungkin.
Di dalam membangun diskusi penggarapan kami lakukan 90 % melalui daring zoom dan komunikasi e-mail ataupun Whatsapp. Sementara setiap grup di wilayah masing-masing berproses dengan temu muka. Kadang-kadang keresahan timbul tenggelam menghadapi proses latihan dan produksi di tengah pandemi. Di lain sisi, proses kreatif teater ini juga bisa menjadi pelepasan ketegangan menghadapi situasi yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Setelah melewati sekitar 2 bulan lebih berproses, kami menemukan format pertunjukan yang dikerjakan dengan pendekatan aspek-aspek teater dan film. Kami semua sepakat produksi ini disebut sebagai karya TEATER FILM.
Pembacaan para sutradara terhadap naskah ‘Waktu Tanpa Buku’ dari awal sudah dengan kesadaran bahwa pertunjukan ini akan diselenggarakan secara daring. Sehingga mereka menyiasati tidak terpaku pada kaidah pemanggungan saja. Mereka juga berpikir tentang pengambilan adegan secara sinematik. Setiap sutradara menggalinya melalui diskusi, mencari referensi dan sudah melibatkan dari awal sudut pandang kamera. Meskipun ada juga sutradara yang tetap mempertahankan sesuai dengan kaidah pemanggungan teater, tetapi tetap memperhitungkan sudut dan posisi kamera dalam prosesnya. Dengan begitu, para sutradara ini sudah memiliki kesadaran penuh untuk menghadirkan kamera tidak hanya sebatas dokumentasi, tetapi sebagai karya sinematik.
Teater film ini berdasarkan naskah drama yang ditulis oleh Lene Therese Teigen, dramawan Norwegia, yang mengangkat cerita tentang memori para korban kediktatoran masa lalu di Uruguay. Naskah tersebut ia tulis berdasarkan riset dan wawancara dengan para eksil dari Uruguay di Eropa. Kemudian naskah tersebut saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya berpendapat berpendapat bahwa drama WTB sangat universal dan dekat sekali dengan kita di sini, di Indonesia.
Drama WTB membongkar memori personal individu yang berangkat dari pengalaman pusaran besar gejolak politik bangsanya. Karakter-karakter yang diciptakan sangat kuat dan bisa menjadi representasi siapa saja yang mungkin pernah mengalami hal serupa. Drama ini juga mampu berbicara kepada mereka yang hanya pernah mendengar secara bisik-bisik tentang apa yang pernah terjadi, maupun untuk pembaca generasi muda yang sama sekali jauh dari sejarah negerinya di masa lalu.
Institut Ungu merangkul para sutradara perempuan untuk menggarap naskah tersebut sebagai pernyataan bahwa persoalan hak asasi manusia menjadi bagian tak terpisahkan dari hak kaum perempuan. ‘Women’s rights are human rights’. Akan ditayangkan secara daring pada tanggal 1-10 Desember yang didedikasikan untuk menyambut Hari Hak Asasi Manusia.
Teater Film ‘Waktu Tanpa Buku’ diproduksi oleh Institut Ungu, didukung oleh Kedutaan Norwegia di Jakarta, bekerjasama dengan Kala Teater Makassar, mainteater Bandung, Ruangkala Jakarta, Serikat Teater Sapu Lidi, Aceh dan Agnes Christina, Yogyakarta.
‘Waktu Tanpa Buku’ adalah sebuah kisah kelam masa lalu yang masih perlu ditatap dan dihadapi. Karena masa lalu selalu melahirkan perjalanan kemanusiaan yang tak pernah usai untuk menatap masa depannya. Selamat mengapresiasi.