Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (26 November) dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember)
Berbicara mengenai seni tidak akan terlepas dari persoalan mengenai hak asasi manusia. Sebab, seni baru dapat berkembang secara sehat apabila pelindungan dan pemenuhan hak asasi manusia telah dilakukan dengan baik dan merata. Beberapa jenis hak asasi manusia yang relevan dengan perkembangan seni antara lain adalah hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas kebudayaan.
Salah satu yang menjadi pijakan kita adalah Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disebut sebagai UDHR). UDHR adalah sebuah instrumen hak asasi manusia yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, Perancis. Tanggal ini selanjutnya diakui sebagai Hari Hak Asasi Manusia di seluruh dunia. Instrumen tersebut memuat berbagai prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, hak untuk terbebas dari perbudakan, hak atas kebebasan beragama, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, hingga hak atas kebebasan berpikir dan menyapaikan pendapat dan bereskpresi.
Di lain sisi, kita bisa mengajukan pertanyaan lain, sejauh mana kerja-kerja kesenian turut memberi sumbangan bagi pembelaan terhadap Hak Asasi Manusia dan berbagai isu kemanusiaan lainnya ?
Kita sudah mengetahui berbagai karya seni yang hadir ke publik mengangkat isu-isu sensitif dan sulit. Seni bisa menjadi ‘jembatan’ komunikasi pikiran dan perasaan berbagai persoalan kemanusiaan yang seringkali sulit menemukan ruangnya dikarenakan banyak hal. Misalnya karena negara yang masih mengabaikan atau mempunyai banyak kelemahan untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia warga negaranya. Karya seni yang bisa disebutkan antara lain film tentang Wiji Thukul, penyair yang hilang di bawah kediktatoran orde baru (Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen), pertunjukan teater ‘Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer (Faiza Mardzoeki) tentang penyintas perempuan ‘65’, Aku Istri Munir (Seno Gumira Ajidarma dan dipentaskan oleh Happy Salma), Syair-Syair puisi karya Wanti Ngani atau novelnya Laila S Chudori ‘Laut Bercerita’ yang bicara soal aktivis yang hilang. Belum lagi kita pernah punya WS. Rendra, Wiji Thukul, dan banyak lainnya. Kami yakin di berbagai wilayah lain, banyak dari seniman, perempuan dan laki-laki, yang teguh bicara berbagai soal ketidak adilan dan isu-isu hak asasi manusia.
Sebagai rangkaian acara #DialogSenidanHam, Institut Ungu akan mengadakan sebuah diskusi publik atau dialog dengan para seniman yang bisa diikuti oleh publik luas melalui media zoom, pada Hari Rabu, 25 November jam 14.30.00 – 17.00
Dalam diskusi ini akan memunculkan beberapa pertanyaan kunci :
Diharapkan melalui diskusi atau dialog terbuka ini kita mendapat pengetahuan akan hak-hak kebebasan berekspresi untuk seniman dan masyarakat pada umumnya. Selain itu diharapkan membuka wawasan pentingnya para seniman turut serta ambil bagian dalam proses pembelaan HAM dan keadilan sosial, gender dan keberagaman melalui berbagai karya para pekerja seni.
Dalam diskusi ini akan menghadirkan para pekerja seni yang telah melahirkan karya-karya yang berbicara masalah isu hak asasi manusia dan keadilan sosial lainnya serta peengamat kebijakan seni.
Pengisi Acara/ Pembicara/Moderator:
Ruang Acara: Zoom Webinar dan disiarkan di Youtube Channel INSTITUT UNGU MEDIA