Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia (10 Desember)
Saya merasa senang dan terhormat karena Waktu Tanpa Buku sekarang akan dikenal di Indonesia dengan penerbitan ini. Dramanya ditulis karena dipicu sebuah cerita tentang Uruguay. Uruguay adalah sebuah negara kecil di Amerika Selatan, yang hanya memiliki 3,5 juta penduduk, dekat dengan Argentina, Brazil dan Samudra Atlantik. ‘Ruang penyiksaan dari Amerika Selatan’, adalah sebutan untuk negara Uruguay dibawah periode kediktatoran, dari tahun 1973 sampai 1985.
Pada saat itu, sekitar 20% dari penduduk Uruguay dikurung di penjara untuk waktu yang singkat ataupun lama, dan sekitar 10% diasingkan ke negeri lain. Demokrasi telah kembali di Uruguay, dan sekarang menjadi salah satu negara yang paling modern dan liberal di Amerika Selatan. Tetapi setelah 35 tahun sejak hari terakhir kediktatoran, bangsa itu harus menghadapi fakta bahwa ada banyak sekali penduduk di negara itu dengan kelangkaan atau ketidak-tahuan tentang apa yang terjadi pada tahun-tahun gelap itu.
Pementasan perdana dari Waktu Tanpa Bukumengambil tempat di Teatro Solis di ibukota Montevideo pada Mei 2018. Tepat setelah pertunjukan, kami bertemu dengan empat puluh remaja di antara para penonton. Saya sangat terkejut setelah mengetahui bahwa hanya dua dari empat puluh remaja tersebut yang mengetahui bahwa tempat perbelanjaan paling mewah di Montevideo adalah bekas penjara dari tahun 1910 dan sepanjang 70’an sampai 80’an.
Di Uruguay belum ada peraturan tentang membuat pelajaran sejarah yang belum lama ini terjadi dan dijadikan kurikulum sejarah di sekolah-sekolah. Sehingga masyarakat tidak memiliki tanggung jawab. Keluarga dan perorangan tentu bisa memilih untuk berbicara tentang pengalaman mereka atau tetap diam. Tetapi, apakah mereka memiliki kewajiban untuk berbicara tentangnya? Beberapa orang akan mengatakan iya, beberapa yang lain akan mengatakan tidak. Apakah kau membutuhkan orang yang akan mengatakan aku mau mendengarkan, untuk mulai berbicara?
Jika begitu, bagaimana kita bisa paham sejarah kita sendiri? Bagaimana tentang kesamaan sejarah kita sebagai sebuah bangsa? Hingga seberapa mirip kesamaan sejarah itu? Apakah ada sesuatu seperti kesamaan cerita untuk sebuah bangsa di mana di sana ada perbedaan kelas dengan jelas, serta ketidakadilan lain di masyarakat? Siapa yang bercerita tentang sejarah – dan untuk tujuan apa kita memberitahukan sejarah untuk masa depan kita, dan untuk dunia diluar batas negara kita, demi itu.
‘Sejarah ditulis oleh pemenang’, kata Winston Churchill. Jadi apa yang terjadi jika tidak ada pemenang yang jelas, dan banyak orang dari segala sisi mungkin berpikir apa yang terjadi mungkin lebih baik jika dibiarkan diam? Tidak hanya karena kebetulan buruk untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tetapi karena sangat sulit untuk dibicarakan? Dari trauma, dari rasa malu, dari ketakutan mendapat gangguan saraf lainnya. Terdapat banyak alasan baik untuk berpikir bahwa kita akan menjadi lebih baik jika melupakan apa yang terjadi, dan mulai sesuatu yang baru. Tetapi apa yang dapat terjadi kepada sebuah negara atau masyarakat dengan individu berada dalam level yang berbeda, ketika sejarah dibiarkan dalam diam?
‘Orang-orang yang melupakan masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya’, demikian sebuah pepatah, dan saya berhak untuk berpikir bahwa itu adalah kebenaran.Dalam level personal juga terdapat banyak hal di mana diam dapat menyakiti seseorang, atau dalam dinamika sebuah keluarga.
Saya adalah pekerja teater nomaden dari utara yang telah berpergian dan bekerja keliling dunia, meskipun begitu, saya tidak begitu paham tentang sejarah Amerika Selatan ketika pertama kali datang ke Uruguay pada tahun 2015 untuk menonton pertunjukan drama saya dengan sutradara Cecilia Caballero Jeske. Dalam proses pertunjukan ‘Time Without Books’muncul hubungan kekerabatan yang mendalam yang kami kembangkan, baik dalam level personal maupun profesional. Cecilia hidup dalam pengasingan di Norwegia selama tujuh tahun, sejak usianya masih tujuh tahun sampai usianya menginjak empat belas tahun. Setelah melihat karya teaternya, dan mendengarkan cerita tentang keluarganya, saya memutuskan untuk menulis drama ini dan berharap akan menjadi drama universal yang mana bisa dibaca dan diproduksi di seluruh dunia.
Penelitian saya bermula dari wawancara mendalam dengan Cecilia dan ayahnya, juga dengan beberapa orang lain. Saya juga menonton beberapa film dokumenter dan film panjang, membaca artikel-artikel, novel-novel dan blog. Beberapa orang yang ingin saya wawancarai tidak ingin membicarakan tentang masa-masa sulit itu. Tentu saja saya dapat mengerti:Mengapa terus menyimpan kenangan pahit itu? Mengapa tidak memikirkan masa depan saja
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat membantu saya mengembangkan teks. Bagaimana bisa saya menulis tentang ketidakmauan untuk berbicara, tentang senyap? Bertemu dengan orang yang kukuh sangat membantu saya dalam memilih perspektif, juga untuk menemukan sebuah bentuk dengan lebih dari satu perspektif, mengenai usia, pandangan politik dan jenis kelamin.
Sebagai seorang feminis, sangat penting bagi saya untuk menjelaskan dengan pengalaman seorang perempuan. Sangat sedikit yang telah mendengar tentang figur ibu yang hanya menunggu dan menunggu, bagi mereka yang memiliki kendaraan untuk berpergian dan yang bagaimanapun melahirkan anak dan mengurus kebutuhan-kebutuhan kita. Sangat penting bagi saya bahwa salah satu putrinya sampai pada titik di mana dia menyadari ibunya adalah pahlawan terbaik.
Pengalaman bertemu dengan orang-orang tersebut telah menjadi sebuah cerita tentang apa yang harus diingat dan apa yang harurs dilupakan, bagaimana dan kenapa. Dengan penonton sebagai saksi bahwa orang-orang yang kita temui memiliki kesulitan untuk menemukan tempatnya dalam sejarah yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Bagaimana kita bisa hidup secara individual jika masih ada trauma di antara seluruh bangsa, dan ketika ceritamu bukan hanya milikmu, tetapi juga milik anakmu?
Dengan drama ini saya telah menciptakan sebuah cerita yang menantang untuk didekati secara emosional. Selain itu, jika para pemain teater akan menampilkan dramanya kepada penonton, mungkin akan menawarkan keberanian dan pertimbangan untuk menciptakan teater yang aman di mana para penonton mendapatkan kesempatan untuk memasuki kembali cerita kehidupannya sendiri, bahkan penonton mungkin memutuskan untuk bercerita apa yang belum pernah diceritakan.
Saya ingin membuat teks yang peduli kepada pembacanya, atau bisa dikatakan begitu. Semoga teks ini akan membawa teater semakin maju di mana kepedulian dan pertimbangan kepada penonton adalah kunci bagaimana itu ditampilkan. Saya menyukai konsep dimana pemain dan penonton bersama-sama berada di satu tempat yang sama, mengalami atau memahami kesulitan ceritanya bersama. Saya juga ingin menegaskan bahwa sejarah sebenarnya juga mengambil tempat sekarang, di waktu ini, ketika dramanya sedang ditampilkan atau dibaca olehmu.
Saya ingin menceritakan sesuatu yang mungkin dapat mengubah hubungan seseorang dengan kehidupan dan kematian, sesama manusia dan identitasnya sendiri. Ketika banyak orang tiba-tiba pergi menaiki pesawat karena kerusuhan di dunia dan rezim yang tidak memperdulikan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan kesetaraan, kita harus menyadari betapa pentingnya kita menemukan seperti apa gantinya dari pengalaman yang akan kita ciptakan. Dengan menciptakan sebuah teks untuk teater saya juga memfasilitasi terciptanya sebuah ruang untuk refleksi dan peduli, sebuah ruang di mana sesuatu terjadi antara pengamat dalam sebuah hubungan dan orang lain di dunia nyata. Teater adalah sebuah ruang yang mungkin berkontribusi dalam menciptakan lebih banyak orang yang peduli kepada satu sama lain.
Terima kasih kepada Faiza Mardzoeki yang tidak hanya menginisiasi proyek ini di Indonesia, tetapi juga membuat terjemahannya. Saya juga berterimakasih kepada Kedutaan Norwegia di Jakarta dan kepada Asosiasi Penulis Norwegia, dalam kolaborasinya dengan Norwegian Literature Abroad(Norla) yang membantu mendanai terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini.
Oslo, Mei 2020, Lene Therese Teigen.