Menyambut Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan  (25 November) dan Hari Hak Asasi Manusia  (10 Desember)

Nano Riantiarno

Pengatar Nano Riantiarno

WAKTU YANG SENYAP

Ketika saya mendapatkan naskah drama Time Without Books (Waktu Tanpa Buku), selama tiga hari saya membaca, tiga kali. Setiap hari. Jarang ada naskah, yang memaksa saya membaca seperti itu. Saya ingin tahu ada apa, ingin tahu yang terjadi di Amerika Latin, saat itu. Masa kediktatoran yang pendek, tapi membikin sengsara rakyat Negri Uruguay. Negara yang penduduknya hanya sekitar 3,5 juta jiwa.

Ini naskah yang luar biasa. Saya sangat mengagumi cara penulisnya, Lene Therese Teigen, merangkai lakon. Saya menduga, pasti sangat sulit mementaskannya. Berbagai kenangan, yang tentu saja sangat buruk, bagi mereka yang pernah ditangkap saat Diktator Uruguay berkuasa. Saya berpikir, merangkai adegan dalam benak, sekaligus mengorek naskah; kata dan dialognya, sepotong demi sepotong. Dan, ‘Semuanya tidak akan pernah berakhir’, seperti yang ditulis di penutup. Militer dan korupsi, bisa saya terjadi di negeri mana pun. Ini bukan drama yang gampang.

Adegan yang sangat membekas di kepala saya adalah, ketika Maria ditangkap dan melihat perempuan digantung. Dia memasuki lorong demi lorong, lorong yang hijau muda. Simak dialog-nya, “Engsel-engselnya berderit, suara itu cukup untuk membuat saya berbalik. Untuk berpikir bahwa semua perhatian saya harus diarahkan pada pintu yang terbuka lebar pada saat itu. Dan di situlah saya menyaksikan tempat mereka digantung. Banyak sekali perempuan. Digantung. Lengan mereka diikat di atas kepala dan digantung .. seperti ini.”

Di masa Orde Baru (1989), saya mengalaminya. Tak persis sama dan tidak ada perempuan digantung. Saya mengikuti penjaga, menjalani lorong demi lorong yang suram, dan tak ada lorong hijau muda. Dari pintu depan ke tempat interogator, terasa sangat jauh. Lampu sepotong. Berapa lama lagi? Akhirnya saya ketemu juga kamar interogator saya, seorang Kapten. Dan saat itu, saya ketemu seseorang yang saya kenal, dia menyapa. Dia adalah Rektor sebuah universitas. Hari itu, para Rektor Negeri sedang meetingdi situ. Tapi, mengapa rapat di situ? Itu adalah kantor intelijen nasional. Apakah mereka, rektor-rektor itu, ‘intelijen’ juga?

Diktator militer Uruguay, Jenderal Gregorio Alvarez, barusan wafat pada usia 91. Dia berkuasa sejak 1970-an hingga 1980-an. Saat itu, dia tengah menjalani hukuman penjara 25 tahun atas pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan pada masa berlangsungnya kekuasaan kediktatorannya. Mungkin, demokrasi mulai tumbuh di negri itu, dan rakyat serta pemerintah membawanya ke pengadilan. Alvarez, yang ayahnya juga seorang jenderal, memimpin kudeta pada tahun 1973. Dia memerintah di sana dan berkuasa secara militer, 1981-1985. Dia jadi Presiden pada tahun 1981.

Rejimnya bertanggungjawab atas pembunuhan, penyiksaan dan pemenjaraan ribuan  orang. Sekitar 6000 orang dipenjara karena alasan politik. Sekitar 230 orang diculik. Dan mereka itu menghilang, malah bisa jadi, sudah meninggal. Kita tidak tahu, kalau mereka meninggal, dikubur di mana? Bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, 1965 hingga 1998. Ketika Presiden Suharto, Orde Baru, berkuasa. Sekitar 33 tahun! Di suatu daerah, tanah yang digali, konon, sebuah pekuburan massal. Itu terjadi, setelah Suharto tidak berkuasa lagi. Berapa banyak yang dibunuh?

Naskah ini tidak dibagi dalam babak-babak atau adegan. Dia memisahkannya dalam bagian yang disebut nomor-nomor. Ada 23 nomor (atau adegan) yang mengisahkan adegan demi adegan. Itu bukan masalah. Di Prancis, ada naskah drama yang dibagi berdasar pemunculan tokoh baru. Orang menyebutnya, Adegan Prancis. Beberapa anak muda di Indonesia, menuliskannya justru tanpa nomor. Hanya sebuah adegan, dengan penjelasan pendek. Itu bisa disebut sebagai awal adegan. Seorang Arsitek yang menulis dan menyutradarai, menuliskan adegannya tanpa nomor, malah tiada penjelasan yang lengkap. Dia menggambar beberapa set plus ‘urusan’ perlampuan!

Presiden Suharto sangat berkuasa. Catatan menyebutkan dia sebagai Presiden paling korup di dunia. Saat 1965, ada sekitar 500.000, atau sekitar 1 juta orang meninggal. Begitu saja, mati. Tak ada yang tahu mengapa mereka mati. Ada pengadilan atau tidak, kita pun tak tahu. Ada kota di luar Pulau Jawa  yang dipergunakan untuk  para tahanan. Sebagian seniman dibekap di sana, dan dibebaskan ketika Presiden itu menganggap semuanya dirasa sudah sangat aman. Tapi, akhirnya dia diturunkan mahasiswa pada 1998. Dan, sesudah itu, muncul Zaman Reformasi.

Sekitar 15.000 orang ditahan tanpa pengadilan. Banyak mahasiswa atau politikus yang tetap tinggal di luar negeri dan tidak berani pulang. Kalau mereka pulang, pada zamannya, mungkin bisa ditangkap. Atau bisa jadi masalah. Suharto, mungkin, sudah mampu menghilangkan satu generasi bangsa, generasi yang berpikir. Dia tidak menginginkan pemikiran yang mengacu kepada kehendak untuk menghentikan kekuasaaannya. Banyak kisah atau lakon tentang peristiwa itu, tapi kalau terlalu jelas mengacu pada tokoh-tokoh tertentu, mungkin akan dipermasalahkan. Ada sebuah film nasional, Surat Dari Praha, lakon yang bagus. Ini kisah tentang mereka yang tidak mau pulang ke Indonesia. Sebab, kalau pulang, mungkin ditangkap.

Dalam Waktu Tanpa Buku, saya melihat adegan yang, menurut saya, paling sulit dilakukan. Itu adalah adegan 3,Interogasi.Luar biasa. Pada adegan awal, Seorang Perempuan-3 menginterogasi seorang Pria. Dan adegan ini dilanjutkan. Lalu, seorang Laki-laki menginterogasi seorang Perempuan I. Dan adegan itu dilanjutkan lagi. Adegan lainnya, Perempuan I, mengonterogasi Perempuan-3. Dan interogasi kemudian dilanjutkan. Cuma 3 adegan, atau 6 adegan. Sudah, hanya itu saja!

Tidak ada kata-kata dalam lakon itu. Dialog, bisa saja berubah. Berdasarkan siapa yang bermain. Misal, harus disebut: nama, umur, jenis kelamin, alamat, status, ada saudara lelaki atau perempuan, kekasih, wajah yang kemerahan, kebangsaan, pekerjaan, warna favorit, aktif atau pasif, jenis obat yang dipakai, merokok, berapa batang sehari, makan daging atau tidak. Itu yang ditanyakan oleh interogator. Juga pertanyaan; makan sayuran, gula, gula tidak baik untuk kesehatan, partai politik, makan ikan atau tidak, anggota organisasi, olahraga, berapa kali mandi sehari, berapa saudara kandung, pipimu merah kalau malu, suka berlari, jogging di mana?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang ditanyakan. Kalau yang memainkannya tidak memiliki imajinasi, pasti adegan ini akan sangat menjemukan. Tapi, adegan ini sungguh sangat bagus. Permainan adegan ini, terutama aktornya, wajib punya penghayatan yang ampuh. Adegan ini, sungguh memuat pemikiran; ‘apa yang harus dilakukan para aktor agar bingung’. Dan membuat para penikmat bisa ikut bingung juga. Itulah kenikmatan teatralnya. Pertanyaan yang tanpa jawaban.

Saya pernah diinterogasi polisi (1990). Saya sebagai penulis-sutradara dan produser. Kami diinterogasi di ruang yang berbeda. Interogasi berjalan sejak pukul 8 hingga jam 11 malam. Kami malah ditawari makan. Ya, sudah, kami makan dulu baru interogasi dijalankan. Pertanyaan untuk penulis dan sutradara, ternyata, kurang lebih sama seperti pertanyaan untuk produser. Saya tidak tahu, karena ruang kami berbeda. Lalu, sesudah selesai, kami pindah ruang. Saya ke ruang tempat produser, dan produser ke tempat saya. Ditanyakan lagi pertanyaan, yang ternyata sama. Tapi hanya diubah sedikit kalimatnya, dan urutan pertanyaannya berbeda. Hari ketiga, kami baru tahu, semua pertanyaan itu ternyata sama. Maka saya dan produser sepakat, menjawab jawaban seperti hari kemarin dan hari kemarinnya lagi.

Interogasi dilakukan selama 10 hari! Sementara itu, di gedung teater, kawan-kawan sedang mementaskan lakon Suksesi, dari jam 8, berhenti jam 11.15. Semuanya sudah dihitung oleh polisi. Juga hitungan jamnya. Dan, mereka berharap, jawaban kami harus salah. Itu yang dicari. Intinya, mereka ingin kami salah menjawab atau bingung. Bingung, lebih baik. Supaya jawaban kami kacau. Kalau kami salah menjawab, kami pasti akan ditahan. Itu, kesalahan yang memang dicari polisi.

Hebat sekali penulis lakon ini, bisa merenungkan perkara semacam itu.

Suksesi,seharusnya bermain 14 hari, tapi, karena jawaban kami tidak salah, maka, pertunjukan akhirnya dihentikan oleh polisi pada hari ke-11. Seharusnya kami bisa bermain tiga hari lagi (jadi sampai 17 hari), karena banyak penonton yang mendaftar dan waiting list. Tapi lakon disetop polisi. Karcis, uang, empat hari berikutnya, harus dikembalikan ke penonton. Sebagian besar penonton merelakan karcis itu, untuk para pemain. Itulah nasib teater kami, pada masa Orde Baru!

Adegan lainnya yang sangat menusuk hati, adalah ketika Enrique ditangkap. Sel yang semula ada buku, kemudian ditiadakan. “… Tanpa buku. Ketika semua yang kami baca dihapus, ketika semua upaya komunikasi disensor sampai ke detil terkecil. Bagaimana kau bisa bertahan hidup?”Kemudian, Enrique menyelesaikan kalimatnya, “Menulis menjadi cara untuk bertahan hidup bersama.”

Mungkin, puisi pun disensor. Apalah artinya sebuah puisi kalau disensor. Puisi tak berguna lagi. Kita tahu, di Indonesia, ada seorang penulis hebat, Pramoedya Ananta Toer. Dia  ditahan di Pulau Buru, dan dia menyelesaikan empat bukunya di sana: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.Beberapa artikel menjelaskan, dia menyimpan semua data di kepala. Dan dia menuliskannnya dengan sangat bagus. Di pulau itu, mungkin tidak ada buku, ‘waktu tanpa buku’.

Saya mendirikan Teater Koma, 1977. Sudah memproduksi 159 pentas. Kami pernah dicekal Pemerintah sebanyak 6 kali (1978, 1989, 1990, 1991, 1994, dan 1995). Naskah pentas kami, biasanya realisme. Saya mengikuti paham Konstantin Stanilavsky dan Bertolt Brecht. Tokoh itu sangat berlawanan, sungguh tak terhubung. Tapi saya coba atau berusaha menyatukan sikap pentas keduanya lewat Teater Tradisi yang sangat kaya di Indonesia. Saya sudah mementaskan 3 drama Bertolt Brecht, The Three Penny Opera (Opera Ikan Asin, 1983,1999, 2017),The Good Person Of Shechzwan (Tiga Dewa dan Kupu-Kupu),dan Mother Courage And Her Children (IBU).Saya tak pernah mementaskan naskah Anton Chekov. Padahal, Stanislavsky, sering bermain di beberapa naskah Anton Chekov.

Saya membaca, dan memasukkan lakon itu ke dalam hati. Saya sangat suka naskah drama ini. Bagaimana memory menjadi perihal yang paling utama. Naskah ini mengacu atau bersumber pada kenangan. Kenangan yang buruk atau kenangan yang baik. Maka tidak heran jika ‘boneka teddybear’yang dirajut oleh Lydia, menjadi sangat penting. Rajutan kenangan yang bersumber pada impian yang baik. Masa lalu yang baik. Selalu diingat. Tentang keluarga mereka. Si anak sempat mengunjungi penjara, menemui ayahnya, pada usia 1 tahun. Lalu, pada usia 2, 3, 4 dan 5 tahun. Dan pada usia ke-6, keluarga mereka pindah ke Eropa.

Imajinasi para pemain harus sangat kuat. Tidak heran, jika kita lalu melihat, seorang tokoh, Rita, berperan dari mulai usia 14 hingga 15, 19 sampai 30 tahun. Sampai dia menikah, dan mengenakan gaun pengantin. Pada saat itu, sebuah musik, tango, didengarkan untuk menari. Ini mungkin nyanyian penutup yang sekaligus memberitahu, ‘tidak akan pernah berakhir’. Apakah Rita akan dimainkan oleh peran yang tak sama, ketika berusia 14, 19 atau 30. Atau peran yang sama, hanya tubuhnya yang mungkin dibedakan? Saya sangat menunggu, kapan lakon ini akan dipentaskan. Faiza Mardzoeki, adalah tokoh yang tepat untuk memproduksikannya.

Waktu Yang Senyap, atau ‘Waktu Tanpa Buku’ adalah waktu kita. Kita semua. Waktu ketika kita tak mampu lagi mengenang masa lalu. Karena masa kini dan masa depan yang sungguh sangat mengganggu. Kita disibukkan oleh masa kini dan nanti. Mungkin, kita akan mengenang kampung halaman. Tapi, apakah kampung halaman ada di dalam kepala kita? Di benak kita? Waktu Rita, saat dia mengucap, atau, ibaratnya, justru  kita-lah yang seharusnya mengucapkan kalimat seperti itu:

‘Mengapa aku menangis? Aku menangis untuk Ibu, aku menangis untuk ayah, aku menangis untuk cinta mereka, aku menangis untuk semua hal sedih yang pernah terjadi, aku menangis untuk kampung halaman yang tidak pernah kumiliki, aku menangis untuk selalu menjadi orang asing. Selalu berbeda.’

Rita tak lagi merasakan. Mana keluarga dan kampung halaman? Melupakan kenangan yang buruk, mungkin cara yang terbaik. Tapi, selalu tidak melupakan kenangan, bisa membikin kita trauma. Pasti akan sangat melelahkan dan bisa membuat sakit. Apa yang seharusnya dilakukan oleh peran-peran yang ada dalam lakon ini? Itulah yang juga harus dipikirkan oleh para calon pemain, ketika mereka siap untuk mementaskan lakon ini. Lakon ini, sesungguhnya juga lakon tentang kita. Kisah yang sesungguhnya sedang terjadi pada kita, sekarang. Ini adalah lakon Indonesia.

Di mana mereka, orang-orang Indonesia, yang ada di luar negeri? Apakah mereka masih ingat kampung halaman? Apakah mereka tidak akan kembali ke tanah air? Mungkin, mereka bukan orang Indonesia. Sudah jadi warga negara asing. Tapi mereka itu, Indonesia. Apakah masih ingat sawah dengan padi yang hijau dan panen, padi yang menguning dan katak-katak? Bukan mereka, tapi anak dan cucu-cucu.

Ini lakon yang bagus. Saya berharap bisa melihat pementasannya. Naskah drama yang ampuh, mungkin bisa melahirkan pentas teater yang berbobot pula. Penerbitan karya drama ini, Waktu Tanpa Buku, akan membuat kita terkesima. Kita butuh karya drama yang kreatif, menerbitkan paham-paham baru, dan estetis.

 

Jakarta, Agustus 2020. Nr.

Produksi Institut Ungu 2020